Cerita Islamic Remaja

Masih ingat kang Bejo? Naah...Kalau dulu kang Bejo belajar soal pencarian diri, sekarang kang Bejo sedang asyik belajar matematika! Maklum, dia tak pernah sekolah. Belajar satu tambah satu pun hanya dari pasar.

Pagi itu, Kang Bejo sedang duduk merenung di depan rumah bambunya. Gelas di meja masih utuh berisi kopi dingin tanpa gula. Wajah muram, pundak seolah sedang memikul batu segunung. Entah masalah berat apa yang sedang bertandang dipikirannya.

"Kang, lihat baju si Entong ini," teriak istrinya dari dalam rumah. "Sudah kumal, sobek-sobek pula. Kasihan dia sering diejeking sama teman sekolahnya."

Hanya sebuah tarikan nafas dalam, terdengar dari hidung Kang Bejo.

Satu per satu himpitan ekonomi pun melintas di depan mata. Upah borongan yang tak pasti. Biaya sekolah si Entong yang makin mahal. Istri yang lagi hamil. Utang ke pak RT yang belum dibayar. Sebentar lagi puasa, dan tentu, habis itu lebaran. Barang-barang di toko hanya pajangan baginya. Termasuk gula yang kini tak lagi menemani kopi pagi.

Duh Gusti, kok berat nian ujian hidup di negeriku. Negeri yang katanya adil, makmur dan sentosa. Keluhnya dalam hati.

Pada saat itu, melintas sebuah mobil BMW di jalan depan rumah. Ah, enak sekali hidup Tukimin. Jadi pengacara kondang, banyak klien, gonta-ganti mobil.

Astaghfirullah, mengapa aku jadi tidak bersyukur dan suka iri begini? Ah, biarin. Emang mudah sih pak Kyai bilang agar kita bersyukur, bersyukur, dan bersyukur. Kalau lagi sumpek dan susah gini mau apa? Udah berusaha kerja keras, tapi ya segitu-gitu saja dapatnya. Setiap hari lihat Entong berangkat ke sekolah dengan baju kumal satu-satunya. Gimana ndak nelongso. Mungkin benar kalau orang-orang yang miskin seperti aku ini lebih dekat kepada kekufuran. Ah, masak Gusti Allah ndak adil? Hanya mengisi surgaNya dengan orang-orang yang makmur saja?

Macam-macam pikiran berkecamuk di balik kopyah Kang Bejo.

"Assalamu'alaikum, Kang Bejo," sapa pak Ary yang sedang lewat. Guru muda ini mengajar matematika di sebuah madrasah dekat rumah kang Bejo. Entong juga diajar matematika olehnya.

"Waalaikum salam, pak Ary. Berangkat ngantor nih? Gimana kabar nyonya, apa sudah sembuh sakitnya?"

"Alhamdulillah, luka habis operasi sudah mulai kering. Semoga minggu depan sudah bisa kerja lagi."

"Syukurlah, kalau begitu."

"Sedang apa, Kang Bejo? Kok tampaknya murung sekali."

"Ya, biasalah pak. Urusan rumah tangga, urusan hidup. Ndak
habis-habisnya susah jadi orang miskin seperti saya ini."

"Memangnya kenapa kang? Bukankah Kang Bejo lagi sehat wal afiat. Kehamilan istri Kang Bejo tampaknya juga tidak masalah. Entong di sekolah juga tak terlihat sakit."

"Iya sih. Tapi ya itu, lagi tongpes. Mana bini mau melahirkan, tidak bisa melengkapi kebutuhan sekolah Entong. Ah.. pusing pak. Kalau masalah-masalah sayang dikumpulkan, dijumlah-jumlahkan, mungkin beratnya sudah seperti sebuah gunung. Belum lagi ditambah utang, semakin lengkap deh rasanya saya orang paling menderita sedunia."

"O begitu pak. Memang manusia yang hidup selalu ada masalah ya pak. Yang punya banyak uang juga banyak tuh yang tidak bisa memanfaatkan uangnya. Habis gimana mau liburan, pesiar, atau belanja-belanja, kalau giginya lagi cekot-cekot, asam urat tinggi, sakit jantung. Kang Bejo sekeluarga kan sehat semua?"

"Tapi kan mereka bisa berobat. Lha saya ini, tidak tahu bagaimana biaya bersalin istri saya. Belum lagi nanti ketambahan anggota keluarga yang baru. Kebutuhan meningkat. Sehat sih sehat. Tapi pusing tetap saja tujuh kali kelilingnya."

"Hahaha.. Kang Bejo ini meski sedih tetap saja lucu."

"Iya, lucu tapi pusing. Coba sekarang bagaimana menurut pak guru? Saya perlu bantuan, tapi malu meminta."

"Saya hanya seorang guru madrasah Kang. Hanya ilmu matematika yang saya bisa sampaikan."

"Pak guru hebat. Bisa punya ilmu matematika, dan bisa mendapat penghasilan. Saya SD tidak tamat."

"Iya Kang, punya ilmu tapi kalau tidak bisa membuat bahagia juga untuk apa?"

"Emang pak guru bisa bahagia dengan matematika? Coba saya diajarin sedikit ilmunya. Siapa tahu saya bisa lepas dari himpitan masalah ini. Tapi otak saya ndak sampai kali pak."

"Ini saja ilmu saya Kang. Coba Kang Bejo jawab, satu kambing dibagi satu orang, dapat berapa orangnya?"

"Ya gampang itu pak. Dapat satu kambing."

"Betul. Kalau satu kambing dibagi 10 orang?"

"Wah, kambingnya musti disembelih dulu, dipotong dan dibungkus jadi 10. Masing-masing dapat satu bungkus."

"Betul. Satu bungkus daging kambing pasti lebih sedikit kan dibanding satu kambing."

"Iya dong. Gampang itu."

"Kalau satu kambing dibagi orang sekampung, masing-masing dapat berapa?"

"Wah, kalau kambing itu disate, mungkin satu tusuk sate pun tak dapat mereka. Mungkin cuma satu potong daging."

"Betul. Lebih sedikit lagi kan? Nah, kalau satu kambing dibagi orang sedunia, dibagi seluruh makhluk di alam semesta ini?"

"Hmm.... pasti para jin dan setan cuma dapat baunya saja. Orang-orang Amerika kita kasih asapnya saja."

"Hahaha.. Kang Bejo lucu. Betul, jadi semakin sedikit dan semakin tak terasa kan?"

"Iya. Terus, maksud sampeyan apa?"

"Nah, siapa yang paling besar di alam ini?"

"Paling besar?"

"Maksud saya, kalau di pengajian-pengajian, siapa yang disebut sebagai Yang Maha Besar?"

"Oh itu.. mudah.. Ya Allah dong. Dia yang Maha Besar."

"Tepat sekali Kang. Nah, tadi kambing dibagi ke seluruh makhluk di alam semesta ini. Masing-masing dapat seucrit. Mungkin dapat bau atau asapnya saja, alias tidak ada apa-apanya. Alias NOL. Sama saja dengan masalah-masalah Kang Bejo. Sebanyak apapun kalau itu dibagi ke Yang Maha
Besar, hasil di perasaan Kang Bejo juga NOL. Masalah-masalah itu beratnya nol, ringan, tak terasa."

Kang Bejo mengangguk-angguk. Mulai sedikit mengerti.

"Itulah maksudnya dengan memasrahkan diri kepada Allah, Kang. Satu dibagi tak berhingga, sama dengan nol. Masalah memang ada, mungkin belum usai, karena kita hidup. Kalau tidak mau punya masalah ya jangan hidup. Betul Kang?"

"Iya ya.."

"Tapi, dengan memasrahkan masalah itu kepada Allah, hati kita akan ringan. Kalau istri lagi sewot karena tidak ada uang untuk belanja, kita kembalikan bahwa semua itu dari Allah. Masalah itu punya Allah. Kita hanya dipakai saja untuk menjalani masalah itu. InsyaAllah hati akan ringan, Kang. Kalau hati ringan kan enak. Menghadapi istri yang cemberut
kita bisa tetap cool, kerja juga tetap semangat."

"Terus bagaimana agar saya bisa bekerja dengan semangat dan berhasil?"

"Kebalikan dari ilmu matematika yang tadi, Kang. Kalau satu dibagi tak berhingga sama dengan nol, sekarang satu dibagi nol sama dengan tak berhingga."

"Wah, yang ini saya belum mudeng. Satu dibagi nol. Gimana tuh?"

"Coba kalau ke toko pak Bokir, pinjem kalkulatornya. Lalu pecet saja tombol '1 / 0'. Hasilnya adalah huruf E. Itu artinya error alias kalkulator tidak bisa menampilkan hasilnya."

"Kenapa?"

"Karena angkanya buanyak sekali, tak cukup ditampilkan di layar kalkulator. Angkanya tak berhingga."

"Oke deh, saya percaya sama sampeyan. Terus, hubungannya apa dengan pertanyaan saja?"

"Begini Kang. Kalau manusia mau sukses, kuat, dan perkasa, dia harus membagi dirinya dengan nol."

"Wah, lagi-lagi ndak mudeng saya."

"Maksud membagi diri dengan nol itu, ya menghilangkan pengakuan diri. Misalnya, kalau kerja ini karena 'aku' yang bekerja keras. Hilangkan si-aku, lalu bilang, ini bukan aku yang bekerja, tetapi kerjanya Allah. Aku hanya dipake saja. Bisa dibayangkan, kalau yang kerja itu Allah, pasti hebat lah hasilnya. Tak berhingga. Atau sering kita bilang, tak kuduga, tak kusangka, rejeki nomplok datang."

"O begitu ya."

"Nah, kalau berhasil atau dapat rejeki juga sama, jangan di-aku-aku. Wah, ini rejekiku, ini punyaku, karena kerja kerasku. Jangan begitu. Tapi di-nol-kan lagi. Bilang saja, rejeki ini bukan punyaku, tapi punya Allah. Aku hanya dipake saja untuk memanfaatkan rejeki ini. Disitu ada hak untuk anak, istri, juga mungkin tetangga lain yang miskin. Kita kasih hak mereka dalam bentuk zakat atau infaq. Akhirnya kita bisa ikhlas dan tidak khawatir memiliki titipan dari Allah. Karena itu nol, bukan punya kita. Satu dibagi nol sama dengan tak berhingga."

"Betul..betul.. rasanya sudah makin enak di hati saya pak."

"Alhamdulillah kalau begitu. Wah, saya harus berangkat Kang, sebentar lagi bel sekolah bunyi."

"Alhamdulillah, terimakasih pak guru. Dalam sekali ilmunya."

"Ah biasa saja Kang. Itu ilmu matematika biasa. Sudah ya Kang, semoga Allah selalu membimbing kita agar bisa meng-nol-kan diri dan memasrahkan segala urusan kepada Yang Maha Tak Berhingga. Assalamu'alaikum."

"Amiin... Waalaikumsalam."

0 komentar:

Posting Komentar