[Kisah Islami] Kasih Sepanjang Jalan


Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.
Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.
Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kak�c". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesal�c
Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.
Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.
Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.
Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.
Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.
Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.
Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama ini�c" bisikku perlahan.
Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.
Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.
Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.
Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....
Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.
Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.
Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...
Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini

Cerita Islamic Remaja


Masih ingat kang Bejo? Naah...Kalau dulu kang Bejo belajar soal pencarian diri, sekarang kang Bejo sedang asyik belajar matematika! Maklum, dia tak pernah sekolah. Belajar satu tambah satu pun hanya dari pasar.

Pagi itu, Kang Bejo sedang duduk merenung di depan rumah bambunya. Gelas di meja masih utuh berisi kopi dingin tanpa gula. Wajah muram, pundak seolah sedang memikul batu segunung. Entah masalah berat apa yang sedang bertandang dipikirannya.

"Kang, lihat baju si Entong ini," teriak istrinya dari dalam rumah. "Sudah kumal, sobek-sobek pula. Kasihan dia sering diejeking sama teman sekolahnya."

Hanya sebuah tarikan nafas dalam, terdengar dari hidung Kang Bejo.

Satu per satu himpitan ekonomi pun melintas di depan mata. Upah borongan yang tak pasti. Biaya sekolah si Entong yang makin mahal. Istri yang lagi hamil. Utang ke pak RT yang belum dibayar. Sebentar lagi puasa, dan tentu, habis itu lebaran. Barang-barang di toko hanya pajangan baginya. Termasuk gula yang kini tak lagi menemani kopi pagi.

Duh Gusti, kok berat nian ujian hidup di negeriku. Negeri yang katanya adil, makmur dan sentosa. Keluhnya dalam hati.

Pada saat itu, melintas sebuah mobil BMW di jalan depan rumah. Ah, enak sekali hidup Tukimin. Jadi pengacara kondang, banyak klien, gonta-ganti mobil.

Astaghfirullah, mengapa aku jadi tidak bersyukur dan suka iri begini? Ah, biarin. Emang mudah sih pak Kyai bilang agar kita bersyukur, bersyukur, dan bersyukur. Kalau lagi sumpek dan susah gini mau apa? Udah berusaha kerja keras, tapi ya segitu-gitu saja dapatnya. Setiap hari lihat Entong berangkat ke sekolah dengan baju kumal satu-satunya. Gimana ndak nelongso. Mungkin benar kalau orang-orang yang miskin seperti aku ini lebih dekat kepada kekufuran. Ah, masak Gusti Allah ndak adil? Hanya mengisi surgaNya dengan orang-orang yang makmur saja?

Macam-macam pikiran berkecamuk di balik kopyah Kang Bejo.

"Assalamu'alaikum, Kang Bejo," sapa pak Ary yang sedang lewat. Guru muda ini mengajar matematika di sebuah madrasah dekat rumah kang Bejo. Entong juga diajar matematika olehnya.

"Waalaikum salam, pak Ary. Berangkat ngantor nih? Gimana kabar nyonya, apa sudah sembuh sakitnya?"

"Alhamdulillah, luka habis operasi sudah mulai kering. Semoga minggu depan sudah bisa kerja lagi."

"Syukurlah, kalau begitu."

"Sedang apa, Kang Bejo? Kok tampaknya murung sekali."

"Ya, biasalah pak. Urusan rumah tangga, urusan hidup. Ndak
habis-habisnya susah jadi orang miskin seperti saya ini."

"Memangnya kenapa kang? Bukankah Kang Bejo lagi sehat wal afiat. Kehamilan istri Kang Bejo tampaknya juga tidak masalah. Entong di sekolah juga tak terlihat sakit."

"Iya sih. Tapi ya itu, lagi tongpes. Mana bini mau melahirkan, tidak bisa melengkapi kebutuhan sekolah Entong. Ah.. pusing pak. Kalau masalah-masalah sayang dikumpulkan, dijumlah-jumlahkan, mungkin beratnya sudah seperti sebuah gunung. Belum lagi ditambah utang, semakin lengkap deh rasanya saya orang paling menderita sedunia."

"O begitu pak. Memang manusia yang hidup selalu ada masalah ya pak. Yang punya banyak uang juga banyak tuh yang tidak bisa memanfaatkan uangnya. Habis gimana mau liburan, pesiar, atau belanja-belanja, kalau giginya lagi cekot-cekot, asam urat tinggi, sakit jantung. Kang Bejo sekeluarga kan sehat semua?"

"Tapi kan mereka bisa berobat. Lha saya ini, tidak tahu bagaimana biaya bersalin istri saya. Belum lagi nanti ketambahan anggota keluarga yang baru. Kebutuhan meningkat. Sehat sih sehat. Tapi pusing tetap saja tujuh kali kelilingnya."

"Hahaha.. Kang Bejo ini meski sedih tetap saja lucu."

"Iya, lucu tapi pusing. Coba sekarang bagaimana menurut pak guru? Saya perlu bantuan, tapi malu meminta."

"Saya hanya seorang guru madrasah Kang. Hanya ilmu matematika yang saya bisa sampaikan."

"Pak guru hebat. Bisa punya ilmu matematika, dan bisa mendapat penghasilan. Saya SD tidak tamat."

"Iya Kang, punya ilmu tapi kalau tidak bisa membuat bahagia juga untuk apa?"

"Emang pak guru bisa bahagia dengan matematika? Coba saya diajarin sedikit ilmunya. Siapa tahu saya bisa lepas dari himpitan masalah ini. Tapi otak saya ndak sampai kali pak."

"Ini saja ilmu saya Kang. Coba Kang Bejo jawab, satu kambing dibagi satu orang, dapat berapa orangnya?"

"Ya gampang itu pak. Dapat satu kambing."

"Betul. Kalau satu kambing dibagi 10 orang?"

"Wah, kambingnya musti disembelih dulu, dipotong dan dibungkus jadi 10. Masing-masing dapat satu bungkus."

"Betul. Satu bungkus daging kambing pasti lebih sedikit kan dibanding satu kambing."

"Iya dong. Gampang itu."

"Kalau satu kambing dibagi orang sekampung, masing-masing dapat berapa?"

"Wah, kalau kambing itu disate, mungkin satu tusuk sate pun tak dapat mereka. Mungkin cuma satu potong daging."

"Betul. Lebih sedikit lagi kan? Nah, kalau satu kambing dibagi orang sedunia, dibagi seluruh makhluk di alam semesta ini?"

"Hmm.... pasti para jin dan setan cuma dapat baunya saja. Orang-orang Amerika kita kasih asapnya saja."

"Hahaha.. Kang Bejo lucu. Betul, jadi semakin sedikit dan semakin tak terasa kan?"

"Iya. Terus, maksud sampeyan apa?"

"Nah, siapa yang paling besar di alam ini?"

"Paling besar?"

"Maksud saya, kalau di pengajian-pengajian, siapa yang disebut sebagai Yang Maha Besar?"

"Oh itu.. mudah.. Ya Allah dong. Dia yang Maha Besar."

"Tepat sekali Kang. Nah, tadi kambing dibagi ke seluruh makhluk di alam semesta ini. Masing-masing dapat seucrit. Mungkin dapat bau atau asapnya saja, alias tidak ada apa-apanya. Alias NOL. Sama saja dengan masalah-masalah Kang Bejo. Sebanyak apapun kalau itu dibagi ke Yang Maha
Besar, hasil di perasaan Kang Bejo juga NOL. Masalah-masalah itu beratnya nol, ringan, tak terasa."

Kang Bejo mengangguk-angguk. Mulai sedikit mengerti.

"Itulah maksudnya dengan memasrahkan diri kepada Allah, Kang. Satu dibagi tak berhingga, sama dengan nol. Masalah memang ada, mungkin belum usai, karena kita hidup. Kalau tidak mau punya masalah ya jangan hidup. Betul Kang?"

"Iya ya.."

"Tapi, dengan memasrahkan masalah itu kepada Allah, hati kita akan ringan. Kalau istri lagi sewot karena tidak ada uang untuk belanja, kita kembalikan bahwa semua itu dari Allah. Masalah itu punya Allah. Kita hanya dipakai saja untuk menjalani masalah itu. InsyaAllah hati akan ringan, Kang. Kalau hati ringan kan enak. Menghadapi istri yang cemberut
kita bisa tetap cool, kerja juga tetap semangat."

"Terus bagaimana agar saya bisa bekerja dengan semangat dan berhasil?"

"Kebalikan dari ilmu matematika yang tadi, Kang. Kalau satu dibagi tak berhingga sama dengan nol, sekarang satu dibagi nol sama dengan tak berhingga."

"Wah, yang ini saya belum mudeng. Satu dibagi nol. Gimana tuh?"

"Coba kalau ke toko pak Bokir, pinjem kalkulatornya. Lalu pecet saja tombol '1 / 0'. Hasilnya adalah huruf E. Itu artinya error alias kalkulator tidak bisa menampilkan hasilnya."

"Kenapa?"

"Karena angkanya buanyak sekali, tak cukup ditampilkan di layar kalkulator. Angkanya tak berhingga."

"Oke deh, saya percaya sama sampeyan. Terus, hubungannya apa dengan pertanyaan saja?"

"Begini Kang. Kalau manusia mau sukses, kuat, dan perkasa, dia harus membagi dirinya dengan nol."

"Wah, lagi-lagi ndak mudeng saya."

"Maksud membagi diri dengan nol itu, ya menghilangkan pengakuan diri. Misalnya, kalau kerja ini karena 'aku' yang bekerja keras. Hilangkan si-aku, lalu bilang, ini bukan aku yang bekerja, tetapi kerjanya Allah. Aku hanya dipake saja. Bisa dibayangkan, kalau yang kerja itu Allah, pasti hebat lah hasilnya. Tak berhingga. Atau sering kita bilang, tak kuduga, tak kusangka, rejeki nomplok datang."

"O begitu ya."

"Nah, kalau berhasil atau dapat rejeki juga sama, jangan di-aku-aku. Wah, ini rejekiku, ini punyaku, karena kerja kerasku. Jangan begitu. Tapi di-nol-kan lagi. Bilang saja, rejeki ini bukan punyaku, tapi punya Allah. Aku hanya dipake saja untuk memanfaatkan rejeki ini. Disitu ada hak untuk anak, istri, juga mungkin tetangga lain yang miskin. Kita kasih hak mereka dalam bentuk zakat atau infaq. Akhirnya kita bisa ikhlas dan tidak khawatir memiliki titipan dari Allah. Karena itu nol, bukan punya kita. Satu dibagi nol sama dengan tak berhingga."

"Betul..betul.. rasanya sudah makin enak di hati saya pak."

"Alhamdulillah kalau begitu. Wah, saya harus berangkat Kang, sebentar lagi bel sekolah bunyi."

"Alhamdulillah, terimakasih pak guru. Dalam sekali ilmunya."

"Ah biasa saja Kang. Itu ilmu matematika biasa. Sudah ya Kang, semoga Allah selalu membimbing kita agar bisa meng-nol-kan diri dan memasrahkan segala urusan kepada Yang Maha Tak Berhingga. Assalamu'alaikum."

"Amiin... Waalaikumsalam."

Kata Serapan Bahasa Arab di Bahasa Indonesia


Begitu banyak kata bahasa arab yang diserap menjadi bahasa indonesia. Hal ini sebetulnya menjadi keuntungan tersendiri bagi orang indonesia. Karena  secara otomatis setiap orang indonesia telah memiliki puluhan bahkan ratusan kosa  kata bahasa arab.  Dimana kita tahu, bahwa salah satu penunjang yang akan memudahkan kita dalam menguasai suatu bahasa adalah dengan menghafal sebagian besar kata-katanya.
Namun sepertinya, tidak banyak yang menyadari bahwa kata yang diucapkan adalah bahasa arab. Nah, oleh karena itu, melalui postingan ini,  ana mengajak antum semua untuk bersama-sama membuat semacam kamus kata serapan bahasa arab.. baik yang diserap secara utuh atau dengan lafadz sedikit berbeda.. baik yang digunakan secara nasional pada umumnya, atau yang biasa digunakan untuk kaum muslmin pada khususnya.. sekedar memberikan bukti, bahwa orang indonesia apalagi umat islamnya sudah punya bekal yang baik untuk mempelajari bahasa arab. ayo orang indonesia, belajar bahasa arab yuk!! :)
A
Adab
Adat
Adil
Ahad (minggu)
Ahli
Aib
Ajaib
Akad
Akal
Akbar
Akhir
Akrab
Akibat
Alam
Alamat
aljabar
Amal
Aman
Amanah
Aqidah
Arif
Asal
Asli
Awal
Ayat
Azab
B
Bab
Badan
Badui
Bahas (membahas)
Batal
Bait
Bakhil
Bala
Batin
Berkah
Bahas
D
Dahsyat : mengherankan, mencengankan (دَهْشَة)
Daftar
Daerah
Doa
Dakwah
Dai
Dalil
Dewan : kabinet, kantor (دِيْوَان)
Derajat
Dunia
Dzikir
F
Faidah
Fakir
Fana
Fikir
Fitnah
Fitrah
G
Gaib
Gamis
H
Hadiah
Hal
Hadir
Hasad
Haid
Hajat
Hasil
Hamil
Hewan
Hidayah
Hijrah
Hukum
Hakim
Hak
Hakikat
Hayat
Hibah
Hidayah
Hikayat
Hikmah
Hormat
I
Ibadah
Iblis
Ihtisar
Ijazah
Ikhtiar
Ikhlas
Ilmiah
Iman
Insan
Istirahat
Istilah
Istiqamah
Itikad
Ilmu
Ilham
Izin
J
Jadwal
Jama’ah
Jawab
Jasad
Janin
Jenis
Jilid
Jin
Jiran (tetangga)
Jumat
Jumlah
K
Kaum
Kabul
Kafilah
Kabilah
Kaidah
Kalimat
Kamis
Khalifah
Khayal
Khianat
Khusus
Kiamat
Kitab
Kuliah
Kursi
Kubur
Kabar
Kabul (dikabulkan)
Karib
kerabat
Kisah
L
Lazim
Lahir
Lafazh
Laknat
Lisan
M
Majlis : tempat duduk-duduk dan berkumpul (مَجْلِس)
Madrasah
Mahkamah
Mahir
Majalah
Makalah
Makna
Maklumat
Maklum
Makmur
Makhluk
Manfaat
Masalah
Masjid
Masyarakat
Masyhur
Maut
Medan (medan perang)
Mistar
Miskin
Milik
Muballigh
Musibah
Mujarab
Mukim
Murid
Musafir
Musyawarah
Mushalla
N
Nabi
Nafkah
Nasib
Najis
Nikah
Nikmat
P
Paham
Pasal
Petuah
R
Rahmat
Rahim
Rabu
Rasul
Rejeki
Risalah
Riwayat
Ruh
Rujuk
S
saat
Sabar
Sabtu
Sah
Safar
sahabat
Salam
Sehat
Sekarat
Serikat
Siasat
Soal
Sebab
Setan
Selamat
Senin
Selasa
Silaturahim
Sifat
Sihir
Sujud
Surat
Syair
syarat
Syirik
Syukur
T
Taat
Tabiat
Tauhid
Tabib
Tahayul
Takabbur
Takdir
Tawakkal
Tawadhu
Tamak
Tamat
Taubat
Telaah
Tertib
U
Umat
Umur
Ustadz
W
wasit : penengah  (وَاسِط)
waswas
Wajah
Wajib
wakil : wakil (وَكِيْل)
Waktu
Wali
Warisan
Wilayah
wujud
Y
Yakin
Yakni
Yatim
Z
Zalim
Zakat
Zaman
Ziarah
Zuhud
Kesimpulannya, kalau bangsa arab mempatenkan setiap kata bahasa arab dan mewajibkan bayar biaya Rp500 saja per kata yang disebut. entah berapa rupiah yang harus kita keluarkan setiap kali kita bicara.. hehe.. becanda.. yang bener:
Kesimpulannya, sekurang-kurangnya, seratus lima puluh enam (156)  kosa kata bahasa arab telah kita hafal di luar kepala dan sering kita gunakan sehari-hari.. so..belajar bahasa arab?? siapa takut!! Jaahid
* Kata-kata ini murni dari pebendaharaan otak kami, belum ditambah yang kami berdua lewatkan..  dari kami berdua saja sudah seratusan lebih..  apalagi jika ditambah dari antum?? ayo sumbangkan kosa kata yang lain!!
* yang mau menyumbang tambahan kata,  silahkan tuliskan di komentar
Khairul Umam & Lailatul Hidayah
www.arabic.web.id